Senin, 30 November 2009

Minibus Rusak Akibat Tawuran Pelajar

Karawang (ANTARA News) - Tawuran pelajar antarsekolah di sekitar Lapangan Karangpawitan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menyebabkan satu mini bus jurusan Cikampek-Bekasi rusak karena terkena lemparan batu.

"Hampir seluruh kaca mini bus itu pecah karena terkena lemparan batu," kata Kepala Bagian Pengendalian Operasi Satpol PP Karawang, Rahmat Syafa`at di Karawang, Jabar, Sabtu.

Lebih kurang 30 pelajar dari tiga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Karawang ditahan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Karawang, Jumat (7/12) petang.

Puluhan pelajar dari SMK Taruna Karya, Bina Karya, dan SMK Sunan Gunung Jati itu diamankan untuk selanjutnya diberi pembinaan oleh Satgas Pembinaan Pelajar Satpol PP Karawang.

Dari kejadian tersebut, petugas Satpol PP mengamankan puluhan gesper yang biasa dijadikan senjata oleh para pelajar itu, untuk menggebuk lawannya.

Tidak ada korban jiwa dalam tawuran pelajar itu tetapi kerusakan sarana publik seperti bus umum itu, kata Rahmat Syafa`at, telah mengganggu kepentingan masyarakat luas, sehingga pihaknya menahan para pelakunya.

Setelah mendapat pembinaan dan nasihat selama satu jam agar mereka tidak mengulangi perbuataannya, para pelajar itu diizinkan pulang ke rumahnya masing-masing oleh Satpol PP, pada Jumat malam.

Ia mengatakan pihaknya memberi masukan-masukan kepada para pelajar yang terlibat tawuran kalau tindakan itu menyalahi aturan dan menimbulkan kekhawatiran warga Karawang.

"Kami akan terus mengawasi tindakan para pelajar di Karawang, karena aksi tawuran di Karawang ini terbilang sering terjadi di Karawang. Mudah-mudahan dengan pembinaan yang kami lakukan, bisa mengurangi aksi tawuran pelajar," katanya.

Tawuran Pelajar Bagaimana Solusi Pemecahannya

Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku negatif yang sangat marak terjadi dikota -kota besar, misalnya Jakarta. Permasalahan remeh dapat menyulut pertengkaran individual yang berlanjut menjadi perkelaian masal dan tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api. Banyak korban yang berjatuhan, baik karena luka ringan, luka berat, bakan tidak jarang terjadi kematian. Tawuran ini juga membawa dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang terlibat didalamnya dan sering berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.

Hal ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Generasi yang diharapkan mampu membawa perubahan bangsa kearah yang lebih baik ternyata jauh dari harapan. Kondisi ini juga dapat membawa dampak buruk bagi masa depan bangsa. Lickona menyebutkan beberapa tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa antara lain meningkatnya kekerasan dikalangan remaja, pengaruh kelompok sebaya terhadap tindakan kekerasan, dan semakin kaburnya pedoman moral.

Upaya-upaya telah dilakukan berbagai pihak, baik birokrasi pendidikan, kalangan pengajar, organisasi masyarakat, maupun LSM untuk menanggulangi masalah ini secara formal. Namun, upaya-upaya tersebut belum membawa hasil yang sangat bermakna jika dilihat dari rendahnya perubahan frekwensi tawuran yang terjadi dari tahun ketahun. Pada tahun 2001, Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (MGMP-PAI) SMK DKI Jakarta menggagas penerapan metode baru yaitu pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan Pendekatan Dakwah Sistem Langsung (DSL) sebagai program wajib di SMK-SMK Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian dari sistem pembinaan kesiswaan yang pelaksanaannnya pada tahap awal diprioritaskan pada sekolah yang sering terlibat tawuran. Penanganan moral remaja secara intensif ini sangat tepat jika dihubungkan dengan latar belakang tawuran pelajar, karena menurut Malik (2002) rendahnya moralitas remaja memiliki peran yang sangat besar dalam melatar belakangi tawuran pelajar Program ini telah diuji coba pada siswa muslim di SMK Poncol Jakarta Pusat dan SMK Budi Utomo. Penerapan ini telah berhasil menurunkan angka tawuran disekolah tersebut.

Tawuran Antar Pelajar

Latar belakang Tawuran antar Pelajar

Tawuran antar Pelajar “Salah Siapa??”

Fenomena tawuran yang terjadi di Indonesia beberapa pekan terakhir membuka mata kita kembali akan maraknya kekerasan dalam pergaulan sosial remaja pelajar Indonesia yang lama sempat tengelam ditengah hiruk pikuk carut marut pendidikan nasional. Bila dicermati, respon masyarakat awam maupun kalangan pendidikan terhadap fenomena tawuran selalu saja mengkambinghitamkan problem-problem sosial di luar sekolah yang mempengaruhi pembentukan perilaku negatif pelajar. Disinilah letak penyimpangan intepretasi sosial yang terkadang mewujud kepada penanganan yang selama ini terbukti tidak efektif mengurangi angka kejadian tawuran pelajar di Indonesia. Seorang Psikolog tersohor, Maslow, mengkategorikan beberapa motif perilaku kepada bangunan piramida motivasi manusia. Dalam teori motivasinya, Maslow menyebutkan bahwa salah satu motivasi tindakan manusia adalah untuk memperoleh pengakuan eksistensial dari sesamanya. Disinilah titik penting yang sering terlepas dari kesadaran kritis kita dalam menyoroti fenomena tawuran antar pelajar selama ini.

Pelajar adalah manusia yang hidup dalam situasi transisi antara dunia anak menuju dewasa. Disinilah ruang dimana seorang manusia remaja mulai menyadari kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh komunitas masyarakat disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut terkadang menuntut hadirnya kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, bukan tidak mungkin, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran kelompok-kelompok vandalistik (baca: gank) yang biasanya mengundang perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap anggotanya.

Aktivitas Positif atau Pendekatan Personal

Dalam beberapa diskusi atau tulisan yang dimuat di media masa, beberapa ahli atau penggiat pendidikan sering mengopinikan adanya kebutuhan akan kegiatan-kegiatan positif yang mampu mewadahi kreativitas dan dinamisasi kehidupan remaja dalam rangka mengurangi angka terjadinya tawuran antar siswa baik di tingkat SMP atau SMU. Kegiatan-kegiatan positif bisa dibentukan dalam aktivitas persahabatan antar sekolah yang lebih menitikberatkan kepada persoalan-persoalan ilmiah. Dari kegiatan tersebut akan muncul sebuah keakraban universal diantara mereka para pelajar.

Tanpa berusaha menguji keefektivitasan dari solusi yang ditawarkan oleh beberapa ahli dan penggelut pendidikan, saya mengajak kita semua untuk menggali lebih dalam akar permasalahan yang memicu konflik-konflik horizontal antar pelajar. Dalam hal ini tentu kita juga harus memaklumkan keberagaman motif dari perilaku-perilaku bermuatan kekerasan dalam diri remaja, semisal karena latar belakang keluarga siswa yang kurang beres, adanya pengaruh negative masyarakat disekitarnya atau adanya permasalahan psiko-personal dalam diri siswa itu sendiri. Dengan keberagaman motif perilaku kekerasan siswa yang ada baik itu sifatnya internal ataupun eksternal, kita tentu tidak bisa serta merta menentukan solusi general dalam menyelesaikan permasalahan tawuran yang cukup kompleks.

Bukankah dalam beberapa aktivitas positif (kompetisi olahraga) yang melibatkan beberapa sekolah dan bertujuan mengakrabkan para siswanya malahan berujung kepada tawuran itu sendiri? Disamping itu, sudahkah kita cukup yakin akan keefektifan kegiatan-kegiatan ilmiah antar pelajar dalam membangun paradigma humanis mereka atau malah sebaliknya hanya akan menimbulkan bentukan-bentukan kebosanan dan kelelahan intelektual kepada mereka. Dibutuhkan suatu pemahaman yang sistematis dan dalam terhadap diri siswa secara personal. Melalui pemahaman akan latar belakang pembentuk perilaku pelajar yang menyimpang, kita akan menemukan rancangan solusi macam apa yang akan efektif diimplementasikan. Disinilah setiap guru dituntut ikut serta mengenal para siswanya dengan segenap persoalan personal yang melatarbelakangi perilaku dan kebiasaan mereka. Hal tersebut sudah harus mulai disadari bukan saja sebagai tugas guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), melainkan seluruh guru bidang mata pelajaran apapun.

Dalam studinya tentang kekerasan, Foucault, seorang psikolog sosial, menyatakan bahwa kekerasan adalah buah dari simbolisasi perlawanan akan bentukan emosi yang menekan manusia secara eksistensial. Disisi yang lain, Eric Fromm menyatakan bahwa kekerasan adalah wujud dari ketakutan dan keterancaman. Dari dua teori diatas, kita tentu memahami mengapa pelajar melakukan kekerasan. Sebagai manusia remaja, pelajar, dalam pengalaman keseharian mereka, merasakan bentukan hegemoni dari orang yang lebih dewasa (orang tua, guru dan sekolah itu sendiri) melalui aturan normative yang membelit kebebasan mereka. Mereka lebih sering dituntut untuk memahami segala bentuk tatanan yang sifatnya baru bagi mereka daripada diberikan kebebasan untuk berpikir kritis atas tatanan-tatanan tersebut. Mereka merasakan sebuah keterancaman eksistensial dimana keberadaan mereka tidak terlalu diakui sebagai selayaknya manusia yang setara. Mereka adalah gudang kesalahan yang setiap hari selalu diposisikan sebagai sosok yang tidak pernah benar di mata orang dewasa.

Mereka berkelompok karena mereka merasakan sebuah perasaan senasib. Perasaan senasib tersebut menimbulkan sebuah solidaritas masal yang sifatnya fanatis dan simbolik. Mereka yang tidak bisa memenuhi tuntutan solidaritas tidak akan terekrut dalam kelompok-kelompok yang ada. Disinilah mereka harus menunjukan jati diri eksistensi mereka. Minuman keras, narkoba, dan perkelahian bukan sekedar eksperimentasi mereka sebagai remaja melainkan juga menjadi semacam metode simbolik untuk bisa diterima oleh kelompok-kelompok yang ada. Tanpa kelompok-kelompok itu, mereka akan mengalami perasaan kesepian yang mendalam karena teralienasi baik oleh kelompok manusia dewasa maupun seusia mereka.

Tawuran pelajar biasanya merupakan konflik masal yang terjadi diantara para kelompok remaja yang berangkat dari sekolah yang berbeda. Sekali lagi persoalannya adalah karena symbol-simbol eksistensi yang dijaga dalam solidaritas masal bertabrakan dengan symbol-simbol yang lain. Maka menggelikan apabila menyelesaikan permasalahan tawuran hanya dengan penyuluhan tanpa mempertimbangkan negosiasi-negosiasi sosial diantara kelompok-kelompok tersebut.

Menjadi guru lebih mudah ketimbang menjadi sahabat mereka. Pelajar membutuhkan perasaan diterima dan diakui sebagai manusia yang berkedudukan setara dengan siapapun juga. Mereka muak untuk dipaksa memahami tanpa memiliki kesempatan untuk dipahami. Perilaku mereka adalah sebuah kompensasi atas perasaan teralienasi dalam dunia belajar mengajar. Satu satu solusi jangka panjang yang mungkin dilakukan adalah merubah paradigma guru. Guru sebaiknya memahami mereka sebagai remaja yang lahir dari kultur keluarga, masyarakat dan pribadi yang berbeda. Kultur remaja memiliki belief dan values sendiri yang tidak bisa ditekan untuk menerima kultur dewasa yang universal. Menekan mereka hanya akan membentuk bangunan hegemoni kepada mereka yang terkompensasi dalam perilaku destruktif mereka sebagai sebuah simbol perlawanan eksistensial demi mendapatkan pengakuan

Pol Pos Diponegoro Bakal Dibangun


Menteng, Warta Kota

Untuk mengantisipasi terulangnya kembali perkelahian dua kelompok mahasiswa dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Yayasan Akuntansi Indonesia (YAI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya akan segera membangun sebuah pol pos di lokasi tersebut.

"Targetnya 2010 di Jalan Diponegoro sudah tidak ada lagi tawuran antar mahasiswa," ucap Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, dalam sambutannya di acara peresmian Pol Pos Thamrin--Bundaran HI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (25/9) pagi.

Di acara itu hadir pula Menteri BUMN Sofyan Djalil dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Taufik Efendy.

Selain di Jalan Diponegoro, ke depan pol pos seperti Pol Pos Thamrin akan didirikan di kawasan Matraman, yang sering terjadi keributan antara warga Berlan dan Matraman. Pol Pos juga akan dibangun di wilayah Pasar Rumput dan beberapa lokasi yang rawan kejahatan seperti di perempatan Coca Cola.

Bambang mengimbau agar keberadaan Pol Pos Thamrin yang dibangun untuk menjaga obyek-obyek vital itu jangan disia-siakan.

"Jadi tidak hanya sekadar retorika berdiri bangunan dan adanya bantuan motor saja. Dan jangan juga bangunan pol pos ini cuma jadi hiasan. Masyarakat perlu mendapat pelayanan," ucap Kapolri.

Kendaraan operasional mobil patroli sebanyak 539 unit yang baru diberikan, kata Bambang, diharapkan bisa menjadi representasi bahwa polisi harus ada 24 jam bagi masyarakat. Sehingga kata Bambang lagi, masyarakat tidak merasa khawatir lagi jika pada malam hari melintas di perempatan Coca Cola yang rawan kejahatan kapak merah.

Sementara itu Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, mengatakan, masyarakat berharap keberadaan Pol Pos Thamrin yang berbasis teknologi informasi ini tidak mengecewakan. Pasalnya kata Foke, panggilan akrab Fauzi Bowo, warga Jakarta sangat berharap siapa pun membutuhkan keamanan dan kenyamanan yang pasti.

Pol Pos Thamrin didirikan karena di lokasi tersebut banyak tempat obyek vital dan juga kerap berlangsung aksi demonstrasi. Pol Pos Thamrin beranggotakan empat regu yang setiap hari bertugas selama delapan jam untuk setiap satu shift. Kenapa delapan jam? Ini dilakukan untuk menjaga kondisi anggota supaya tetap prima.

Pol Pos Thamrin dilengkapi dengan peralatan yang memadai seperti komputer, google map di layar sentuh, televisi, lima unit motor, dua unit motor untuk menjelajah lokasi kejadian, dan sebuah mobil operasional. Masyarakat yang datang ke pol pos ini dijamin bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Anggota yang bertugas di Pol Pos Thamrin yang mempunyai fungsi samapta, fungsi lalu lintas, dan fungsi obyek vital, juga tidak sembarangan. Mereka sudah melalui seleksi psikiater dan pelatihan selama dua bulan. Para anggota memiliki interpersonal skill, pengetahuan komputer, kemampuan berbahasa Inggris, kemampuan pelayanan umum, dan kemampuan bela diri.

TAWURAN ANTAR PELAJAR DI DKI JAKARTA

Tak dapat dipungkiri peristiwa tawuran pelajar di DKI Jakarta masih cukup tinggi. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA, yang terlibat tawuran mencapai 0,08 persen atau sekitar 1.318 siswa dari total 1.647.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa diantaranya meninggal dunia.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerakan Nasional Peduli Antinarkoba, Tawuran, dan Anarkis (Genpenta), Amir Syam, menyatakan tawuran tidak hanya menimbulkan korban jiwa saja, melainkan banyak pelajar yang terpaksa harus dipenjara. Tawuran juga membawa dampak sosial yaitu meresahkan masyarakat dan menimbulkan kerugian material seperti rusaknya sejumlah fasilitas umum, mobil-mobil masyarakat dilempar batu, dan angkutan umum pun tidak luput menjadi sasaran.

Amir menjelaskan data tawuran di Jakarta dari tahun ke tahun cenderung meningkat. “Tetapi yang jelas Genpenta terus melakukan upaya rutin untuk mencegah tawuran baik antarpelajar maupun antarmasyarakat,” kata Amir usai bertemu dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto di Balaikota DKI, Jakarta, Kamis (12/2). Kendati demikian, Amir mengatakan selama tahun 2008, tawuran antarmasyarakat relatif menurun dibandingkan dengan tawuran antarpelajar dan mahasiswa tahun-tahun sebelumnya.

Karena itu, untuk terus menekan angka tawuran di DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggandeng Genpenta untuk melakukan penyuluhan dan sosialisasi bahaya tawuran, narkoba, dan tindakan anarkis di sekolah-sekolah. Dalam pertemuan tersebut, Pemprov DKI membuka pintu seluas-luasnya untuk membangun sinergi dengan Genpenta dalam rangka pemberantasan penyalahgunaan narkoba, tawuran, dan tindakan anarkis secara khusus di kalangan pelajar. Pemprov DKI menyambut baik upaya yang dilakukan Genpenta seperti memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada sekolah-sekolah yang sering melakukan tawuran.

Dalam penyuluhan dan sosialisasi tersebut nantinya siswa akan diberitahu bahwa tawuran hanya mendatangkan kerugian bukan hanya dari pelajar saja, tetapi juga bagi masyarakat sekitarnya. Selain melakukan pendekatan ke pihak-pihak sekolah rawan tawuran, Amir menjelaskan, Genpenta juga melakukan pendekatan kepada organisasi karang taruna di seluruh wilayah DKI Jakarta. “Dari situlah kita melakukan upaya pendekatan kepada pelajar melalui sosialisasi dan penyuluhan,” ujar dia seraya mengatakan berdasarkan hasil pemetaannya bersama dengan Dinas Pendidikan DKI disimpulkan terdapat 137 sekolah rawan tawuran.