Senin, 30 November 2009

Tawuran Antar Pelajar

Latar belakang Tawuran antar Pelajar

Tawuran antar Pelajar “Salah Siapa??”

Fenomena tawuran yang terjadi di Indonesia beberapa pekan terakhir membuka mata kita kembali akan maraknya kekerasan dalam pergaulan sosial remaja pelajar Indonesia yang lama sempat tengelam ditengah hiruk pikuk carut marut pendidikan nasional. Bila dicermati, respon masyarakat awam maupun kalangan pendidikan terhadap fenomena tawuran selalu saja mengkambinghitamkan problem-problem sosial di luar sekolah yang mempengaruhi pembentukan perilaku negatif pelajar. Disinilah letak penyimpangan intepretasi sosial yang terkadang mewujud kepada penanganan yang selama ini terbukti tidak efektif mengurangi angka kejadian tawuran pelajar di Indonesia. Seorang Psikolog tersohor, Maslow, mengkategorikan beberapa motif perilaku kepada bangunan piramida motivasi manusia. Dalam teori motivasinya, Maslow menyebutkan bahwa salah satu motivasi tindakan manusia adalah untuk memperoleh pengakuan eksistensial dari sesamanya. Disinilah titik penting yang sering terlepas dari kesadaran kritis kita dalam menyoroti fenomena tawuran antar pelajar selama ini.

Pelajar adalah manusia yang hidup dalam situasi transisi antara dunia anak menuju dewasa. Disinilah ruang dimana seorang manusia remaja mulai menyadari kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh komunitas masyarakat disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut terkadang menuntut hadirnya kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, bukan tidak mungkin, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran kelompok-kelompok vandalistik (baca: gank) yang biasanya mengundang perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap anggotanya.

Aktivitas Positif atau Pendekatan Personal

Dalam beberapa diskusi atau tulisan yang dimuat di media masa, beberapa ahli atau penggiat pendidikan sering mengopinikan adanya kebutuhan akan kegiatan-kegiatan positif yang mampu mewadahi kreativitas dan dinamisasi kehidupan remaja dalam rangka mengurangi angka terjadinya tawuran antar siswa baik di tingkat SMP atau SMU. Kegiatan-kegiatan positif bisa dibentukan dalam aktivitas persahabatan antar sekolah yang lebih menitikberatkan kepada persoalan-persoalan ilmiah. Dari kegiatan tersebut akan muncul sebuah keakraban universal diantara mereka para pelajar.

Tanpa berusaha menguji keefektivitasan dari solusi yang ditawarkan oleh beberapa ahli dan penggelut pendidikan, saya mengajak kita semua untuk menggali lebih dalam akar permasalahan yang memicu konflik-konflik horizontal antar pelajar. Dalam hal ini tentu kita juga harus memaklumkan keberagaman motif dari perilaku-perilaku bermuatan kekerasan dalam diri remaja, semisal karena latar belakang keluarga siswa yang kurang beres, adanya pengaruh negative masyarakat disekitarnya atau adanya permasalahan psiko-personal dalam diri siswa itu sendiri. Dengan keberagaman motif perilaku kekerasan siswa yang ada baik itu sifatnya internal ataupun eksternal, kita tentu tidak bisa serta merta menentukan solusi general dalam menyelesaikan permasalahan tawuran yang cukup kompleks.

Bukankah dalam beberapa aktivitas positif (kompetisi olahraga) yang melibatkan beberapa sekolah dan bertujuan mengakrabkan para siswanya malahan berujung kepada tawuran itu sendiri? Disamping itu, sudahkah kita cukup yakin akan keefektifan kegiatan-kegiatan ilmiah antar pelajar dalam membangun paradigma humanis mereka atau malah sebaliknya hanya akan menimbulkan bentukan-bentukan kebosanan dan kelelahan intelektual kepada mereka. Dibutuhkan suatu pemahaman yang sistematis dan dalam terhadap diri siswa secara personal. Melalui pemahaman akan latar belakang pembentuk perilaku pelajar yang menyimpang, kita akan menemukan rancangan solusi macam apa yang akan efektif diimplementasikan. Disinilah setiap guru dituntut ikut serta mengenal para siswanya dengan segenap persoalan personal yang melatarbelakangi perilaku dan kebiasaan mereka. Hal tersebut sudah harus mulai disadari bukan saja sebagai tugas guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), melainkan seluruh guru bidang mata pelajaran apapun.

Dalam studinya tentang kekerasan, Foucault, seorang psikolog sosial, menyatakan bahwa kekerasan adalah buah dari simbolisasi perlawanan akan bentukan emosi yang menekan manusia secara eksistensial. Disisi yang lain, Eric Fromm menyatakan bahwa kekerasan adalah wujud dari ketakutan dan keterancaman. Dari dua teori diatas, kita tentu memahami mengapa pelajar melakukan kekerasan. Sebagai manusia remaja, pelajar, dalam pengalaman keseharian mereka, merasakan bentukan hegemoni dari orang yang lebih dewasa (orang tua, guru dan sekolah itu sendiri) melalui aturan normative yang membelit kebebasan mereka. Mereka lebih sering dituntut untuk memahami segala bentuk tatanan yang sifatnya baru bagi mereka daripada diberikan kebebasan untuk berpikir kritis atas tatanan-tatanan tersebut. Mereka merasakan sebuah keterancaman eksistensial dimana keberadaan mereka tidak terlalu diakui sebagai selayaknya manusia yang setara. Mereka adalah gudang kesalahan yang setiap hari selalu diposisikan sebagai sosok yang tidak pernah benar di mata orang dewasa.

Mereka berkelompok karena mereka merasakan sebuah perasaan senasib. Perasaan senasib tersebut menimbulkan sebuah solidaritas masal yang sifatnya fanatis dan simbolik. Mereka yang tidak bisa memenuhi tuntutan solidaritas tidak akan terekrut dalam kelompok-kelompok yang ada. Disinilah mereka harus menunjukan jati diri eksistensi mereka. Minuman keras, narkoba, dan perkelahian bukan sekedar eksperimentasi mereka sebagai remaja melainkan juga menjadi semacam metode simbolik untuk bisa diterima oleh kelompok-kelompok yang ada. Tanpa kelompok-kelompok itu, mereka akan mengalami perasaan kesepian yang mendalam karena teralienasi baik oleh kelompok manusia dewasa maupun seusia mereka.

Tawuran pelajar biasanya merupakan konflik masal yang terjadi diantara para kelompok remaja yang berangkat dari sekolah yang berbeda. Sekali lagi persoalannya adalah karena symbol-simbol eksistensi yang dijaga dalam solidaritas masal bertabrakan dengan symbol-simbol yang lain. Maka menggelikan apabila menyelesaikan permasalahan tawuran hanya dengan penyuluhan tanpa mempertimbangkan negosiasi-negosiasi sosial diantara kelompok-kelompok tersebut.

Menjadi guru lebih mudah ketimbang menjadi sahabat mereka. Pelajar membutuhkan perasaan diterima dan diakui sebagai manusia yang berkedudukan setara dengan siapapun juga. Mereka muak untuk dipaksa memahami tanpa memiliki kesempatan untuk dipahami. Perilaku mereka adalah sebuah kompensasi atas perasaan teralienasi dalam dunia belajar mengajar. Satu satu solusi jangka panjang yang mungkin dilakukan adalah merubah paradigma guru. Guru sebaiknya memahami mereka sebagai remaja yang lahir dari kultur keluarga, masyarakat dan pribadi yang berbeda. Kultur remaja memiliki belief dan values sendiri yang tidak bisa ditekan untuk menerima kultur dewasa yang universal. Menekan mereka hanya akan membentuk bangunan hegemoni kepada mereka yang terkompensasi dalam perilaku destruktif mereka sebagai sebuah simbol perlawanan eksistensial demi mendapatkan pengakuan

2 komentar: